dr. Tirta, Merawat Pasien dan Sepatu dengan Cinta
Perjalanan Hidup dr. Tirta
Berawal dari kuliah kedokteran sambil berdagang gorengan
Tirta, seorang anak tunggal yang lahir pada
30 Juli 1991, selalu menjadi harapan orang tuanya untuk meraih prestasi, yang
terbukti saat ia selalu masuk dalam tiga besar di sekolah. Latar belakang ini
membawanya masuk ke Fakultas Kedokteran UGM. Namun, ia mulai menyadari bahwa
perjalanan menjadi dokter sangat panjang dan penuh tantangan. Menyadari bahwa
pendidikan kedokteran memerlukan waktu yang lama, Tirta pun memutuskan untuk
mencari cara menghasilkan uang sendiri.
Keinginan Tirta untuk membeli sepatu yang harganya mencapai Rp 2 juta tidak
dapat dipenuhi oleh orang tuanya, yang akhirnya hanya membelikannya sepatu
seharga Rp 100 ribu. Hal ini memicu Tirta untuk melihat peluang usaha di
kalangan mahasiswa yang tidak sempat sarapan karena jadwal kuliah yang padat,
mulai dari jam 7 pagi hingga 3 sore. Ia pun mulai menjajakan gorengan yang
dibelinya seharga Rp 400 per biji dan menjualnya dengan harga lima kali lipat.
Setiap hari, Tirta bangun pukul 4 pagi untuk membeli gorengan, lalu kembali
tidur sebelum berangkat ke kampus sambil berjualan.
Meski mendapatkan ejekan dari teman-teman sekelasnya, Tirta tetap konsisten
dengan usahanya. Ia mengaku merasa malu saat diejek di semester pertama, tetapi
ia menganggapnya sebagai candaan. Dalam waktu tiga bulan, hasil penjualan
gorengan itu membawanya meraih keuntungan sebesar Rp 16,5 juta. Keberhasilan
ini mendorongnya untuk memperluas usaha dengan menjual aksesori tren seperti
gelang Power Balance dan jam Monol. Saking larisnya dagangannya, Tirta bahkan
pernah diusir satpam karena berjualan di area kampus.
Sempat bangkrut sampai nekat memakan makanan tidak layak, dan
bangkit kembali dengan mendirikan Usaha Cuci Sepatu
Setelah meraih kesuksesan dalam berjualan jam
Monol, Tirta merasa telah memiliki segalanya. Ia mengantongi keuntungan sebesar
Rp 36 juta dan berhasil mendapatkan indeks prestasi (IP) 4 selama tiga
semester. Namun, keberhasilan ini membuatnya menjadi sosok yang arogan, yang
akhirnya membawa pada kebangkrutan. Tirta kemudian memutuskan untuk menjalankan
bisnis sepatu, memberikan seluruh uangnya kepada supplier dan hanya menyisakan
Rp 700 ribu.
Optimis barang yang dijualnya akan laku, Tirta kali ini salah; barang yang
diterima tidak sesuai harapannya. Ia mengalami shock ketika sepatu yang
dipesan, senilai lebih dari Rp 30 juta, hanya terdiri dari sepatu sebelah kiri.
Merasa malu untuk mengabari orang tuanya tentang kebangkrutannya, ia berusaha
menghidupi diri dengan sisa uang yang ada, terpaksa makan nasi sisa dari
warung, roti tawar basi, dan mi instan yang dibagi dua dengan nasi aking.
Akibat kesulitan ini, nilai akademiknya mulai menurun, dan akhirnya ia
memutuskan untuk mengadu kepada ayahnya. Awalnya, sang ayah tidak memberikan
dukungan yang diharapkan, tetapi ia memiliki cara untuk membantu Tirta bangkit
dari keterpurukan. Berkat dorongan dari ayahnya, Tirta berusaha memperbaiki
nilai-nilainya dan memulai bisnis baru dengan memanfaatkan sepatu bekas
Sampai
akhirnya ia mencoba Membuka usaha cuci sepatu dengan nama brand Shoes and
Care, Pada awal perjuangannya
membesarkan Shoes and Care di Jakarta, dokter Tirta dibantu teman-teman di
sekitar Mendawai yang sampai kini menjadi pegawai paling awet. Dari sini juga
Shoes and Care mempekerjakan 50 persen anak jalanan, pengangguran, dan putus
sekolah, serta 50 persen lainnya mahasiswa magang yang ingin dapat ilmu. Kini,
Shoes and Care telah berkembang menjadi jasa perawatan sepatu premium dengan
lebih dari 65 workshop di 20 kota di Indonesia, serta pelanggan dari luar
negeri seperti Australia, Singapura, Malaysia, dan Amsterdam.
Pelajaran yang dapat diambil
Kisah Tirta Mandira Hudhi mengajarkan bahwa
kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh latar belakang keluarga atau kondisi
finansial. Meskipun berasal dari keluarga biasa dengan orang tua yang tidak
memiliki pengalaman dalam bisnis, Tirta berhasil menemukan peluang dan berjuang
dengan gigih. Ketekunannya dalam berbisnis, bahkan di saat-saat sulit,
menunjukkan bahwa dengan tekad yang kuat, siapa pun bisa meraih kesuksesan. Ia
juga belajar dari kegagalan; setelah menghadapi kebangkrutan, Tirta tidak
menyerah, melainkan memanfaatkan kegagalan tersebut sebagai pelajaran berharga
untuk bangkit kembali.
Selain itu, Tirta mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dengan memberikan
kesempatan kerja kepada mereka yang kurang beruntung. Ia tidak menetapkan
syarat pendidikan yang tinggi, sehingga membuka peluang bagi mereka yang putus
sekolah. Pendekatan ini tidak hanya memberdayakan individu, tetapi juga membawa
dampak positif bagi masyarakat. Kisahnya menginspirasi banyak orang untuk
berani bermimpi besar dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat.
Kesimpulan
Kisah Tirta Mandira Hudhi menjadi contoh nyata bahwa kesuksesan dapat diraih meskipun berasal dari latar belakang yang biasa saja. Dengan ketekunan dan keberanian untuk mengambil risiko, Tirta berhasil mengubah tantangan menjadi peluang. Meskipun mengalami kegagalan, ia tidak menyerah, melainkan menjadikan pengalaman pahit sebagai pelajaran berharga untuk bangkit kembali. Hal ini mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan menuju kesuksesan pasti ada rintangan yang harus dilalui, dan keberhasilan bukan hanya soal keberuntungan, tetapi juga kerja keras dan tekad.
Selain
itu, Tirta juga menunjukkan pentingnya nilai kemanusiaan dalam berbisnis.
Dengan memberikan kesempatan kerja kepada mereka yang kurang beruntung tanpa
syarat pendidikan yang ketat, ia tidak hanya menciptakan peluang bagi
individu-individu tersebut, tetapi juga memberikan dampak positif bagi
masyarakat luas. Kisahnya menginspirasi banyak orang untuk tidak hanya fokus
pada ambisi pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi kepada masyarakat,
sehingga menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi semua.
Referensi
dr.
Tirta: Jadi Dokter Sekaligus Pengusaha, Keduanya Sangat Penting
(law-justice.co)
Mengenal dr Tirta Hudhi, Menjadi Dokter dari Jualan
Gorengan hingga Sepatu | kumparan.com
Komentar
Posting Komentar